Oleh : Rifki Yusak
Sudah kita ketahui bersama, bahwasanya di Indonesia ada sebuah Jam’iyyah yang luar biasa, yang menjaga faham Ahlussunnah wal Jamaah. Jam’iyyah itu biasa kita kenal dengan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU). Jam’iyyah Ini lahir pada hari ahad pon, pada 31 Januari 1926 M.
Dalam ingatan sejarah, para ulama Indonesia mulai bangkit tatkala mereka menguasai isi yang tertuang dalam kita-kitab kuning karya ulama salafus sholih, baik dibidang fikih, Hadist, Ushulluddin dll. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Maimoen Zubair.
Baca Juga : Siapa itu Gus Baha ?
Sejarah kebangkitan para ulama Indonesia itu dimulai saat banyaknya ulama-ulama Indonesia yang Mutakharijin di tanah suci Makkah. Kebanyakkan mereka ada yang menetap disana dan menjadi pengajar di Masjidil Haram seperti halnya Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Mahfudz at-Turmusi dan sebagian lagi ada yang pulang ke tanah airnya untuk menyebarkan islam di Nusantara seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah dll. Merekapun mempunyai pengaruh besar dalam memperkembangkan ilmu agama di tanah airnya, selain itu mereka juga aktif di dalam dunia pergerakan organisasi kemasyarakatan.
Sebelum berdirinya Jam’iyyah Nahdlotul Ulama, terlebih dulu ada jam’iyyah yang di sebut “Nahdlotut Tujjar’’ (Kebangkitan Para Pedagang) yang mempunyai anak asuh “Syirkatul ‘Anan” (Persyukutuan Modal) selanjutnya ada juga organisasi “Nahdlotul Wathon” (Kebangkitan Tanah air) yang mempunyai anak asuh “ Jam’iyyatun Nashihin” yang disepuhi oleh Kiai Raden Asnawi dari Kudus, Kiai Khalil Lasem, Kiai Ma’shum Ahmad Lasem dll.
Baca Juga : Biografi KH. R. Asnawi Kudus
Pada tahun 1924, kerajaan Hijaz dijatuhkan oleh Raja Abdul Aziz bin Sa’ud yang berpaham Wahhabi. Masa itu di hijaz terjadi perubahan yang signifikan, yang asalnya beraliran Ahlussunah wal Jamaah menjadi berlaku aliran Wahhabi secara paksa. Mendengar hal sedimikian rupa, Maka, pada tahun 1925, Nahdlatul Wathan mengirimkan delegasi sari ulama-ulamanya yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah untuk menghadap Raja Abdul Aziz. Awal mula delegasi itu dipimpin oleh KH. Raden Asnawi namun karena adanya suatu halangan beliau digantikan oleh KH. Wahab Hasbullah.
Kedatangan delegasi tersebut disambut baik oleh pihak kerajaan, terlebih oleh Raja Abdul Aziz. Selain itu juga delegasi tersebut disambut oleh para ulama Makkah yang ternama seperti Syaikh Asy’ari dan Sayyid Muhammad bin Sayyid Bakri Syatha. Para delegasi pulang ke Nusantara pada tahun 1925 M. Delegasi ini juga diabadikan dalam AD/ART, Qonun Asasi Nahdlotul Ulama dengan sebutan Komite Hijaz.
Berangkat dari komite hijaz ini, kemudian menjadi Komite persiapan Muktamatar Nahdlatul Ulama yang pertama. Maka berkumpulah para ulama di Surabaya pada 31 Januari 1926 M. Menjelang akan ditutupnya Muktamar tersebut, diakhiri dengan kesepakatan para ulama untuk memilih KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama dan KH. Faqih Maskumambang sebagai Wakil Rais Akbarnya, serta dibentuk pula pengurus HBNO (Hoofd Bestuur of Nahdlatul Oelama) yang pertama. Pada waktu itu yang dipilih sebagai ketua HBNO adalah H. Hasan Ghipo.
Baca Juga : Kiai Ma'shum dengan Ki Joko Goro-Goro
Kebesaran Nahdlatul Ulama yang kita lihat sekarang tidak lepas dari perjuangan kiai-kiai pesantren yang menjadi Muassis ataupun pendiri Nahdlatul Ulama. Para kiai pesantren yang menjadi garda terdepan atas berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah :
1. KH. Hasyim Asy’ari
3. Syaikona Muhammad Kholil Bangkalan
5. KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz
6. KH. Ridwan Abdullah
8. KH. Abdul Chalim
9. KH. Raden Hambali
10. KH. Nawawi Noer Hasan
11. KH. Ma’shum Ahmad
12. KH. A. Dahlan Ahyad
13. KH. Faqih Maskumambang
14. H. Hasan Gipo
15. KH. Bishri Syansuri
16. KH. Sholeh Lateng
17. KH. Hasan Genggong
18. KH. Syamsul Arifin
19. KH. Muhammad Zubair Gresik
20. KH. Ridwan Mujahid
21. Kiai Munthaha Bangkalan
22. KH. Khalil Masyhuri
23. KH. Muhammad Ma’roef Kedunglo
24. KH. Nachrowi Thohir
25. KH. Abdullah Ubaid
26. Syaikh Ahmad Ghanaim al-Mishri.
Referensi :
Amirul Ulum, ‘’Muassis Nahdlatul Ulama : Manaqib 26 Tokoh Pendiri NU’’, Yogjakarta :2015, Aswaja Pressindo.
No comments:
Post a Comment