Oleh : M.S. Arifin, Lc
Adegan 1:
Alat tulis (pensil, mesin tik, komputer, laptop, gadget, dan apa pun itu) sudah di depan mata dan jemari sudah siap, tapi tiba-tiba di hadapan putihnya kertas atau layar, pikiran kita ikut putih, ide yang tadinya nyantol di otak hilang seketika.
Adegan 2 :
Sudah ada ide di kepala, jemari menuliskan ide itu dalam beberapa kalimat, tapi tiba-tiba hati meragu, dan kalimat tadi kena penghapus, terulang berkali-kali seolah tak ada kata yang tepat untuk mewakili apa yang ada di pikiran.
Dua adegan di atas boleh dikata pernah dialami oleh hampir semua penulis, bahkan penulis yang sudah kawakan dan malang-melintang di dunia penerbitan dan perbukuan. Kenapa demikian?
Bukankah kita sering mendengar kalimat motivasi bahwa menulis itu gampang?! Tidak, itu hanyalah kalimat ajakan agar kita tidak mundur sebelum maju! Sebetulnya, menulis itu susah.
Seperti kebanyakan ketrampilan lainnya, menulis butuh latihan terus-menerus. Tetapi, susahnya menulis tak sebanding dengan hasil yang akan kita raih: keabadian.
Seorang sastrawan Amerika Latin bernama Jorge Luis Borges pernah berkata: “Microskop dan teleskop adalah perpanjangan penglihatan; telepon adalah perpanjangan suara; lalu kita memiliki bajak dan pedang, perpanjangan lengan. Namun buku berbeda: buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi.”
Manusia adalah makhluk yang kreatif. Ia menciptakan sekian alat sebagai pembantu aktivitas. Pedang atau parang diciptakan agar membantu lengan, telepon diciptakan untuk membantu suara sampai ke nun jauh sana, dan seterusnya. Namun buku berbeda.
Manusia tidak hanya punya tubuh yang butuh alat-alat. Manusia punya pikiran, ingatan, dan imajinasi yang juga butuh alat. Apa itu? Tulisan, buku! Dari sini kita melihat dua fungsi tulisan atau buku sekaligus:
1. Alat untuk menampung dan menyebarkan pikiran, imajinasi, dan ingatan, dan;
2. Sarana agar manusia (sebagai individu maupun spesies) abadi.
Menulis Sebagai Jalan Keabadian
Para pakar filsafat sepakat bahwa faktor pembeda antara manusia dan sekian spesies adalah ada pada potensi berupa akal. Akal sendiri, dalam studi psikologi klasik, terbagi menjadi tiga fakultas: memori, imajinasi, dan nalar. Ketiga fakultas ini menghasilkan tiga disiplin yang berbeda: memori menghasilkan sejarah, imajinasi menghasilkan sastra, sedangkan nalar menghasilkan filsafat dan matematika.
Sejarah bersumber dari ingatan, dan sejarah sendiri adalah disiplin yang mengabadikan manusia sebagai satu spesies. Kita dapat mengenal tokoh-tokoh hebat, semisal Soekarno dan K.H. Hasyim Asy’ari, melalui sejarah. Tokoh-tokoh ini abadi dan akan selalu diingat. Mereka mewakili spesies manusia.
Sementara itu sastra yang lahir dari imajinasi mengabadadikan manusia sebagai individu. Betapa banyak sastrawan yang abadi sampai sekarang karena mereka berkarya. Kita tak kekurangan contoh, dari zaman klasik hingga modern; semuanya abadi sebagai individu kreatif. Chairil Anwar, penyair kebanggaan kita itu, dikenal bahkan oleh orang yang bahkan belum pernah membaca karyanya.
Dua keabadian di atas (spesis dan individu) ialah lantaran adanya tulisan atau buku. Harga yang mahal bagi para penulis yang bersusah-payah menekuni bidang mereka terbayar melalui cap KEABADIAN!
Menulis Apa?
Jika menulis adalah jalan keabadian, lantas apa yang harus ditulis? Bertanya soal ‘apa’ yang harus ditulis adalah bertanya soal isi tulisan. Tak ada batasan apa pun tentang apa yang mesti ditulis oleh seseorang. Ia bisa menulis apa saja, menyaru tema apa pun itu. Mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Mulai soal pribadi sampai soal khalayak. Mulai tentang kitab suci sampai kitab primbon.
Semua hal bisa menjadi tema tulisan. Semua bisa dituangkan dalam kata-kata. Kita tahu bahwa tema tulisan begitu beragam. Penulis bisa memilih beberapa di antaranya.
Tak ada batasan soal ‘apa’ yang menjadi objek tulisan. Namun, pada prinsipnya, seorang penulis paling tidak harus memperhatikan hal-hal berikut ini ketika mulai memilih tema tulisan:
1. pilihlah tema yang dikuasai
2. pelajari tema itu sampai masak
3. usahakan cari tema yang jarang dibahas orang
4. usahakan cari tema yang spesifik
Dengan memperhatikan empat hal di atas, kita akan terhindar dari: (i) mendapat dan menyebarkan informasi yang kurang matang, (ii) melihat dan mempertontonkan ketidak-berhasilan dalam menulis, dan (iii) bingung sendiri dan menjadikan pembaca bingung karena temanya tidak fokus. Dari sini kita melihat peran penulis begitu sentral sebagai penyebar informasi dan sebagai peramu informasi dengan cara yang sebaik-baiknya agar layak dikonsumsi publik.
Bagaimana Kita Menuliskan ‘Apa’?
Pertanyaan mengenai bagaimana kita menulis mengarah kepada dua jawaban:
1. jenis tulisan
2. genre tulisan
Jenis tulisan terbagi menjadi dua: puisi dan prosa. Puisi, setidaknya menurut pengertian klasiknya, adalah ucapan/tulisan yang bersajak. Sementara itu, prosa adalah ucapan/tulisan yang tidak bersajak. Dua jenis ini di kemudian hari terkelompokkan ke dalam pembagian yang lebih spesifik, yakni genre.
Tulisan itu ada kalanya ilmiah dan adakalanya nonilmiah. Yang dimaksud dengan tulisan ilmiah adalah tulisan yang menyajikan fakta-fakta di lapangan yang diramu dengan metode yang rigid dan bersifat objektif.
Sedangkan tulisan nonilmiah adalah tulisan yang menyajikan fakta-fakta yang personal dan bersifat subjektif.
Karya tulis ilmiah biasa ditulis berdasarkan metode deskriptif, bersisi penjelasan yang runut dan memuat logika berpikirnya tersendiri.
Di seberang lainnya, karya tulis nonilmiah biasa menggunakan metode persuasif, bersifat mengajak atau memengaruhi pembaca. Jenis tulisan dan genre tulisan saling mencakup satu sama lain.
Prosa mencakup genre ilmiah dan nonilmiah. Dan genre nonilmiah mencakup jenis puisi dan prosa. Belakangan, genre karya tulis ini berkembang ke arah yang lebih spesifik. Misalnya, karya tulis ilmiah dapat digolongkan ke dalam bentuk yang bermacam, semisal artikel, makalah, skripsi, tesis, dan seterusnya. Pun karya tulis nonilmiah yang lambat laun juga disebut ‘karya tulis fiksi’, tegolongkan menjadi beberapa bentuk yang akan saya sebutkan dan saya jelaskan dalam makalah ini.
Menulis Karya Tulis Fiksi
Karya tulis fiksi atau nonilmiah seringkali disebut sastra. Sastra sendiri beradsal dari bahasa Sanskerta ‘shaastra’ yang berarti “teks yang mengandung intruksi atau pedoman”. Di kemudian hari, kata sastra mengalami penyempitan makna yang lebih mengarah kepada jenis ungkapan/tulisan yang indah.
Ketika kita menyebut jenis tulisan ini sebagai sastra, kita menekankan pada keindahan bahasanya. Artinya, kita membidik ‘cara’ ungkapnya.
Sedangkan, jika kita menyebutnya sebagai ‘fiksi’, maka yang kita bidik adalah muatannya yang merupakan rekaan. Artinya, kita membidik ‘isi’ ungkapannya. Berikut saya sebutkan bentuk atau genre karya tulis sastra:
• Puisi atau Sajak atau Syair
Puisi merupakan puncak dari bahasa. Dari segi bentuk, puisi memang menyajikan kalimat yang pendek, namun makna dan penafsirannya bisa beragam. Puisi klasik dibatasi oleh bentuk: soneta, rubayyat, pantun, gurindam, dst. Namun pakem inilah yang justru menjadikan puisi itu istimewa. Pakem ini memiliki dua keunggulan sekaligus: (i) menyampaikan makna yang banyak dengan kalimat yang singkat, padat, dan jelas; dan (ii) menyaimpaikan makna yang indah tersebut dengan bahasa yang juga indah pula. Lihat contoh puisi yang memakai pakem pantun bersajak a-b-a-b berikut ini:
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
(Chairil Anwar, Nisan)
Ada pula puisi yang tidak mengikuti pakem sebagaimana puisi di atas. Dewasa ini puisi yang tidak mengikuti pakem dinamakan puisi bebas. Lihat contoh puisi di bawan ini:
Kau adalah pembatas buku
yang menyuruhku untuk jeda
dan rela menunggu
agar aku tak tersesat ketika
memulai kembali
(M.S. Arifin, Pembatas Buku)
Perbedaan mendasar antara puisi bersajak dengan puisi bebas adalah pada penekanannya. Puisi bersajak lebih menekankan irama daripada makna, sementara puisi bebas lebih mementingkan makna dari pada irama. Di beberapa dasawarsa terakhir ini, para penyair di seluruh penjuru dunia lebih banyak menggunakan gaya bebas dari pada terikat.
Ini sesuai dengan semangat zaman yang menyajikan realitas sosial yang begitu kompleks. Puisi berirama dipandang usang dan tidak bisa mewakili isi hati penulis maupun realitas yang melingkupinya.
Meskipun demikian, kita harus belajar dari puisi lama dalam hal pemilihan diksi yang tepat, karena puisi tidak hanya berurusan dengan makna zahir saja, tetapi juga ada makna yang terselip di antara kata-kata.
Lalu bagaimana cara menulis puisi dengan baik?
Tidak ada teknik yang paten yang dapat diterapkan untuk setiap penulis puisi. Para penyair biasanya memiliki teknik mereka masing-masing. Namun, dari segi isi, setidaknya menurut mayoritas pengkaji sastra, puisi harus berada di tengah-tengah antara kalimat atau kata-kata yang gelap nan tak terpahami dan kalimat atau kata-kata yang terlalu gamblang dan memiliki makna tunggal.
Salah satu cara dalam menyembunykikan makna adalah dengan menggunakan teknik majas.
Majas adalah cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakan sesuatu itu dengan yang lain. Misalnya, jika kita ingin menyanjung Nabi Muhammad, kita bisa menggunakan bahasa lugas, seperti: “Nabi Muhammad adalah nabi yang membawa rahmat bagi sekalian alam.” Namun, di sisi lain, kita juga bisa menyisipkan majas agar penafsirannya dapat beragam, misalnya: “Engkau, wahai Nabi, adalah matahari, engkau ibarat bulan purnama, engkaulah cahaya di atas cahaya.” Kalimat majasi atau kiasan ini dapat menyimpan makna lebih banyak daripada kalimat lugas sebelumnya. Itulah yang dimaksud dengan puisi moderat: menjaga ketegangan antara dapat dipahami dengan mudah dan sama sekali tertutup bagi penafsiran. Itu dari segi isi.
Dari segi bentuk, penyair bisa menggunakan bentuk apa pun, baik bebas maupun terikat, tergantung kepada kebutuhan. Banyak penyair Indonesia terkenal yang dalam sepanjang karir kepenyairannya menggunakan dua bentuk di atas sekaligus, sebut saja Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan Goenawan Mohamad. Selain itu, dewasa ini juga berkembang puisi prosaik atau prosa puitis.
Genre ini memadukan antara puisi dan prosa sekaligus dalam satu waktu. Puisi berikut dapat menjadi acuan contoh puisi prosaik:
Rempah-rempah yang kau olah menjadi dagingku kini menjadi segumpal nasib. Seorang penyair pernah berkata bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing. Kuimani penyair itu dan kini nasibku terpencil di ruang paling sepi di palung dompetmu. Ketika kau berusaha melolos selembar uang, aku berusaha naik untuk keluar.
Aku ingin melihat sekali lagi ketika kau mengolah rempahrempah di dapurmu yang kotor, barangkali ada yang keliru tatkala kau memasukkan pala, lada, atau kayu manis, atau apa pun itu, sehingga kau menciptakan nasibku sedemikian rupa. Tapi selalu saja ketika aku berusaha naik bersama uangmu, aku terpeleset jatuh. Hingga entah berapa lama, kau tak lagi punya uang di dompetmu dan aku kian terpencil di sudut situ. Kuimani lagi sabda penyair itu, bahwa sebesar apa pun usahaku untuk mengajakmu ke rumah nasibku, nasib memanglah kesunyian masing-masing.
(M.S. Arifin, Mengolah Rempah)
Pada intinya, bentuk apa pun yang dipakai dalam menulis puisi, pemilihan diksi menentukan indah dan tidaknya sebuah puisi. Tentunya pemilihan diksi berhubungan dengan kerja dalam tiga waktu sekaligus: (i) pra menulis puisi, (ii) ketika menulis puisi, dan (iii) pasca menulis puisi. Pra menulis puisi adalah kegiatan membaca literatur puisi dari penyair lain yang menyumbang pembendaharaan kata kita. Waktu ketika menulis puisi adalah waktu di mana sang penyair sudah mampu menguasai perasaan yang ingin disampaikan dalam puisi.
Jangan sampai perasaan itu terlalu menggebu sehingga diksi yang terlontar terlalu klise atau terlalu sembrono.
Usahakan menulis puisi ketika pikiran dan hati sedang berdamai. Terakhir, pasca menulis puisi. Ini adalah fase yang tak kalah penting. Penulis adalah editor pertama bagi tulisannya. Tak usah gengsi untuk mengedit tulisan kita. Tidak ada tulisan bagus yang sekali jadi. Begitu juga dengan puisi. Puisi yang bagus adalah puisi yang sudah melewati sekian kemungkinan untuk digonta-ganti katanya, disusun-ulang kalimatnya, dan ditambal-sulam logikanya.
Novel, Roman, Dongeng, dan Cerpen
Genre selanjutnya saya kelompokkan menjadi satu, yaitu novel, roman, dongen, dan cerpen, karena semuanya terhimpun dalam dua unsur utama berikut ini:
1. Unsur intrinsik, meliputi tema, tokoh atau penokohan, alur atau plot, latar atau tempat, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
2. Unsur ekstrinsik, meliputi latar belakang masyarakat, latar belakang penulis, dan nilai yang ada di dalam karya tersebut. Genre-genre ini disatukan oleh dua unsur di atas sehingga dapat dikatakan bahwa genre-genre di atas adalah penceritaan dengan tema, penokohan, dan ruang yang berbeda.
Dari segi tema, dongen berbeda dari tiga genre lainnya. Dongen biasanya berisi cerita rakyat, mitos-mitos, maupun cerita fiktif yang dibuat untuk kalangan anak-anak. Sementara itu ketiga genre lainnya, tidak terbatasi oleh tema tertentu sebagaimana dongeng.
Dari segi penokohan, roman dan novel memiliki penekanan yang berbeda. Penokohan dalam roman biasanya lebih detil, sementara novel tidak harus detil. Roman mengisahkan tokoh, baik fiktif maupun faktual, dari lahir hingga ajal menjemputnya.
Contoh roman yang paling terkenal di Indonesia adalah roman yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer yang terdiri dari empat buku: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Roman ini terkenal dengan sebutan ‘Tetralogi Buru’. Empat buku roman ini mengisahkan perjalanan hidup seorang tokoh bernama Minke. Lihat kutipan paragraf pertama dalam Bumi Manusia berikut ini:
ORANG MEMANGGIL AKU: MINKE
Namaku sendiri ...... Sementara ini tak perlu kusebutkan. Bukan karena gila misteri. Telah aku timbang: belum perlu benar tampilkan diri di hadapan mata orang lain.
(Bumi Manusia, hal. 1)
Berbeda dari roman, novel biasanya bercerita tentang satu penggalan hidup seorang tokoh. Biasanya dalam novel tidak diceritakan perjalanan sang tokoh mulai lahir sampai meninggal. Dengan begitu, novel merupakan pengalaman hidup sang tokoh yang relatif lama (nanti dibedakan dari cerpen).
Novel biasanya ditulis dengan cukup panjang, dan biasanya dibukukan. Novel yang pendek tapi masih terlalu panjang untuk dikategorikan sebagai cerpen, biasanya disebut novela, yaitu novel mini. Cerita favorit saya berjudul Rumah Kertas karya Carlos María Dominguez, dapat dimasukkan dalam kategori ini.
Lihat bagaimana Carlos mengawali novelnya dengan sangat apik, sebagaimana berikut:
Pada musim semi 1998, bu dosen Bluma Lennon membeli satu eksemplar buku lawas Poems karya Emily Dickinson di sebuah toko buku di Soho, dan saat menyusuri puisi kedua di tikungan jalan pertama, ia ditabrak mobil dan meninggal.
Buku mengubah takdir hidup orang-orang.
Ada yang membaca kisah petualangan Sandokan, Bajak Laut dari Malaysia, dan memutuskan menjadi profesor sastra di universitas-universitas terpencil. Shiddartha membuat puluhan ribu anak muda menggandrungi kebatinan, sementara Hemingway membuat mereka menggandrungi olahraga. Dumas memperumit hidup ribuan wanita, yang sebagian di antaranya selamar dari bunuh diri gara-gara buku resep masakan. Blumma termasuk korban buku-buku.
(Rumah Kertas, hal. 1)
Terakhir, dari segi ruang, cerpen atau cerita pendek, berbeda dari tiga genre lainnya. Cerita pendek lahir ketika surat kabar membuka diri untuk rubrik sastra. Karena ruang surat kabar terlalu terbatas, maka tercetuslah genre baru yang menyesuaikan zaman berupa cerpen. Pendeknya ruang cerpen, akhirnya menuntut karakteristik tersendiri yang membedainya dari genre lainnya. Cerpen bisa dibaca sekali duduk dan berbeda dari novel maupun roman yang plotnya panjang, cerpen berfokus pada satu
insiden.
Unsur dalam novel dan roman masih ada dalam cerpen, hanya saja penokohannya tidak sedetil keduanya. Titik tekan cerpen adalah pada insiden yang melibatkan tokoh-tokoh tertentu. Cerpen Budi Darma berjudul Lelaki Pemanggul Goni bisa menjadi contoh. Berikut paragraf pertamanya:
Setiap kali akan sembahyang, sebelum sempat menggelar sajadah untuk sembahyang, Karmain selalu ditarik oleh kekuatan luar biasa besar untuk mendekati jendela, membuka sedikit kordennya, dan mengintip ke bawah, ke jalan besar, dari apartemennya di lantai sembilan, untuk menyaksikan laklaki pemanggul goni menembakkan matanya ke arah matanya.
(Lelaki Pemanggul Goni, Kompas, 26 Februari, 2012)
Keempat genre ini, kendati berbeda penekanan, namun dapat dipelajari sebagai keutuhan suatu cerita. Pertanyaan yang penting kita utarakan adalah: bagaimana caranya bercerita dengan baik? Tidak dipungkiri bahwa tiap orang memiliki kisahnya masing-masing, yang sering kali unik dan berbeda satu sama lain. Manusia adalah makhluk yang bercerita. Agar cerita menarik, tentu unsur utama dalam cerita yaitu intrinsik, harus terpenuhi terlebih dahulu. Setelah itu baru menginjak ke teknik. Teknik bercerita yang bagus berkaitan dengan cara penyampaian.
Dalam teknik cerita dikenal dua istilah berikut: deskriptif dan naratif.
Kalimat deskriptif adalah kalimat yang menggambarkan sesuatu apa adanya. Seperti contoh: “Tono adalah orang yang elok parasnya.” Sementara itu, kalimat naratif adalah kalimat yang bersifat menguraikan, tidak secara apa adanya. Contohnya: “Wajahnya tirus, kulitnya sawo matang, matanya berbinar bagai logam, dan alisanya seperti bulan sabit.” Dua teknik penceritaan ini sama-sama dibutuhkan dalam bercerita.
Kalimat deskriptif dibutuhkan untuk menggambarkan sesuatu yang tidak perlu harus panjang lebar, sedangkan kalimat naratif dibutuhkan untuk memberi penekanan pada objek yang digambarkan agar ada unsur dramatisirnya.
Terakhir, cerita akan lebih menarik kalau ada konflik yang diangkat.
Tanpa konflik, sebuah cerita akan membosankan. Lalu bagaimana kita membuat konflik dalam cerita? Pertama-tama, larutlah dalam tokoh yang akan kamu buat. Bayangkan seolah-olah kamu adalah tokoh tersebut. Letakkan tokoh itu dalam satu ruang yang berisi tokoh lain, kemudian taruh konflik dan hadapkanlah tokoh-tokoh itu dengan konflik tersebut, agar dapat terlihat bagaimana tokoh-tokoh itu menyelesaikannya.
Ibarat pergi berperang, menulis cerita adalah soal bagaimana kamu menyiapkan senjata, berjalan menemui musuh, kemudian bertarung habis-habisan, dengan hasil yang sama sekali tidak menentu: bisa kalah atau pun menang. Memilih lawan perang adalah memilih untuk siapa ceritamu ditujukan. Cerita dongeng tentu kurang diminati orang dewasa, begitu juga cerita dewasa tentu kurang diminati anak-anak.
• Drama atau Sandiwara
Drama termasuk karya fiksi. Drama ditulis untuk dipentaskan, baik di panggung, radio, maupun televisi. Berbeda dari novel dan roman, drama berhubungan dengan dua hal: tulisan dan ekspresi. Drama ditulis dalam dialog-dialog antar tokoh, dan pendalaman plotnya terjadi ketika pementasan.
Keberhasilan suatu pementasan drama tidak hanya berhubungan dengan naskah yang bagus, namun juga intonasi, ekspresi, dan pendalaman karakter dari pada aktor atau aktrisnya. Drama sudah dikenal sejak lama. Orang Yunani kuno sangat suka dengan pementasan drama, dan biasanya yang diangkat adalah kisah dewa-dewa atau pahlawan-pahlawan, seperti Odiseus, Hercules, Archiles, dan seterusnya.
Di masa modern, drama dapat dengan mudah kita saksikan di televisi maupun platform eletronik lainnya. Sinetron, film, dan series, merupakan perwujudan dari drama tertulis.
Indonesia tidak kekurangan seorang penulis naskah drama yang andal. Goenawan Mohamad, seorang penyair, kolumnis, esais, sekaligus penulis drama, menulis naskah drama yang akhirnya dibukukan di bawah tajuk ‘Tan Malaka dan Dua Lakon Lain’.
Ada juga seorang penyair terkenal bernama WS Rendra yang merupakan penulis naskah drama dan juga menjadi artis pementasannya. Ia banyak sekali menulis naskah drama, di antaranya: Kaki Palsu, Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954), SEKDA (1977), Bip Bop (1967), Kaum Urakan, Penembahan Reso (1986), Selamatan Anak Cucu Sulaeman (1967), dan lain-lain.
Drama adalah bagian dari cerita. Agar cerita jadi menarik, kita harus menentukan peristiwa apa yang akan kita dramakan. Misalnya, peristiwa Sumpah Pemuda. Peristiwa ini, dalam sejarahnya, melibatkan banyak tokoh, beserta konflik di antara mereka.
Agar drama menjadi menarik, teknik mendramatisir situasi dapat kita pakai. Caranya adalah melalui pemilihan diksi dalam dialog antar tokoh. Adakalanya menggunakan kalimat yang dapat diintonasikan dengan lirih dan adakalanya dengan menggebu-gebu. Kalimat pembuka dalam satu drama, yang mana ia mengantarkan pembaca atau penonton kepada isi cerita, juga perlu diperhatikan. Pilihlah kalimat yang membikin penasaran pembaca, pendengar, atau penonton, agar mereka penasaran apa kiranya adegan satu setelah adegan yang lain.
Kesimpulan
Imajinasi dbutuhkan untuk menyusun benda, orang, dan peristiwa dalam otak kita. Sementara itu, penyusunan imajinasi ke dalam kata-kata membutuhkan keterampilan berpikir, karena memilih kata yang tepat perlu tahu logika bahasa. Struktur kalimat dapat enak bibaca jika jelas, baik secara kaidah maupun pemilihan diksi.
Jadi, cara pertama agar bisa menulis dengan baik dan benar adalah melalui cara berpikir dengan baik dan benar pula. Jika kita bisa berpikir dengan baik dan benar, rasa-rasanya tak ada orang yang membutuhkan pelatihan untuk menjadi penulis.
Berjuta-juta kata tertuang dalam kamus, merambat dari satu mulut ke mulut yang lain, menjalar dari satu jemari ke jemari lainnya, tetapi kata-kata akan menjadi milik seseorang jika sudah disusun.
Karena kata-kata tidak hanya soal makna per bagian, melainkan keseluruhan makna kata ketika disatukan menjadi kalimat, dan kalimat menjadi paragraf, kemudian paragraf menjadi keseluruhan narasi.
Dengan menyusun kalimat, kita akan menjadi abadi. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah berkerja untuk keabadian,” demikian Pramoedya Ananta Teor berkata.
No comments:
Post a Comment