Biografi KH. R. As'ad Syamsul Arifin : Mediator Berdirinya NU
Dalam sejarah berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul ulama di Nusantara pada tahun 1926 banyak ulama yang ikut kontribusi atas berdirinya Jam’iyyah itu terlebih ulama yang berada di jawa timur. Selain Nama Hadrotusy Syaikh Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah ada juga nama KH. As’ad Syamsul Arifin, seorang kiai alim yang juga santri Syaikhona Kholil dan Hadrotuys Syaikh Hasyim Asy’ari. KH. R. As'ad Syamsul Arifin adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Ia adalah ulama besar sekaligus tokoh dari Nahdlatul Ulama dengan jabatan terakhir sebagai Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hingga akhir hayatnya. Ia juga penyampai pesan (Isyarah) yang berupa tongkat disertai ayat al-Qur'an dari Kholil al-Bangkalani untuk Hasyim Asy'ari, yang merupakan cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama.
Garis Keturunan
KH. R. As'ad Syamsul Arifin lahir pada tahun 1897 H/1897 M di Makkah. Kiai As'ad adalah anak pertama dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maimunah, keduanya berasal dari Pamekasan, Madura. Ia mempunyai adik bernama Abdurrahman. Ia dilahirkan di perkampungan Syi'ib Ali, dekat Masjidil Haram, Makkah, ketika kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman. Kiai As'ad masih memiliki darah bangsawan dari kedua orang tuanya. Ayahnya, Raden Ibrahim (yang kemudian lebih dikenal dengan nama K.H. Syamsul Arifin) adalah keturunan Sunan kudus l dari jalur sang ayah. Sedangkan dari pihak ibu masih memiliki garis keturunan dari Sunan sunan Ampel.
Baca Juga : Biografi KH Wahab Hasbullah
Riwayat Pendidikan
Pada usia enam tahun, Kiai As'ad dibawa orang tuanya pulang ke Pamekasan dan tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Sedangkan adiknya, Abdurrahman, yang masih berusia empat tahun dititipkan kepada Nyai Salhah, saudara sepupu ibunya yang masih bermukim di Mekah. Setelah lima tahun tinggal di Pamekasan, Kiai As'ad diajak ayahnya untuk pindah ke Asembagus, Situbondo, yang pada saat itu masih berupa hutan belantara yang terkenal angker dan dihuni oleh banyak binatang buas dan makhluk halus. Kiai As'ad diajak ayahnya pindah ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam di sana.
Sebagaimana putra seorang ulama, sedari kecil Kiai As'ad sudah mendapat pendidikan agama yang langsung langsung diampu oleh ayahnya. Setelah beranjak remaja, ia dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan, sebuah pesantren tua yang didirikan oleh KH. Itsbat Hasan pada tahun 1785 di Pondok Pesantren tersebut, Kiai As'ad diasuh oleh KH. Abdul Majid dan KH. Abdul Hamid, keturunan dari KH. Itsbat.
Setelah tiga tahun belajar di Pesantren Banyuanyar pada tahun 1910-1913 M, ia kemudian dikirimkan ayahnya ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan belajarnya di sana. Pada waktu itu Kiai As’ad berusia 16 tahun.
Di Makkah, beliau bertempat tinggal di Syi’ib Ali yang merupakan Kampung Jawi yang dihuni oleh banyak ulama Nusantara yang sedang belajar di Masjidil Haram. Saat disana Kiai As’ad sangat antusias mengikuti pengajian yang di gelar oleh para ulama Haramain, baik yang bertempat di serambi Masjidil Haram maupun yang ada di kediamannya seperti di Kampung al-Jawi. Diantara Syaikh yang ditimba ilmunya adalah Syaikh Abbas al-Maliki, Syaikh Hasan al-Yamani, Syaikh Muhammad Amin al-Quthbi, Syaikh Hasan al-Massad, Syaikh Bakir al-Jogjawi, Syaikh Syarif as-Sinqithi.
Selain mengambil mata kuliah yang non formal, Kiai As’ad juga belajar di Madrasah al-Shaulatiyah, sebuah madrasah yang sebagian besar murid dan guru-gurunya berasal dari al-Jawi (Melayu). Ia belajar ilmu-ilmu keislaman kepada ulama-ulama terkenal, baik yang berasal dari al-Jawi (Melayu) maupun dari Timur Tengah.
Setelah beberapa tahun belajar di Mekah, Kiai As'ad kemudian pulang ke Indonesia. Setelah sampai di kampungnya, ia tidak langsung mengajar di pesantren ayahnya, Kiai As'ad memutuskan untuk memperdalam ilmunya dan melanjutkan belajarnya. Ia pergi ke berbagai pesantren dan singgah dari pesantren satu ke pesantren lain, baik untuk belajar maupun hanya untuk ngalap barakah (mengharap berkah) dari para kiai. Setidaknya ada 5 pesantren yang dijadikan pelabuhannya dalam menuntut ilmu setelah pulang dari Haramain.
Baca Juga : Tebakan Mbah Ma'shum kepada Ki Joko Goro-Goro
Mengasuh pesantren
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Situbondo pada tahun 1908 M, setelah pindah ke Situbondo, Kiai As'ad dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari Madura membabat alas (menebang hutan) di Dusun Sukorejo untuk didirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah. Usaha Kiai As'ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud. Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushala, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja. Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebut yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah.
Setelah KH. Samsul Arifin meninggal pada tahun 1951, pondok pesantren tersebut ganti diasuh oleh Kiai As'ad. Di bawah kepemimpinan Kiai As'ad, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah berkembang semakin pesat, dengan bertambahnya santri hingga mencapai ribuan. Selanjutnya, lembaga pendidikan dari pesantren tersebut akhirnya semakin diperluas, tanpa meninggalkan sistem lama yang menunjukkan ciri khas pesantren. Pesantren tersebut mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, kemudian didirikan pula sekolah umum seperti SMP, SMA, dan SMEA.
Sebelum mendirikan NU, KH. Hasyim Asy’ari terlebih dahulu menemui orang-orang alim yang tersebar di berbagai wilayah di Jawa, Madura hingga di Makkah. Diantara para alim itu adalah Syaikhona Kholil Bangkalan Madura yang dimintai pendapat oleh KH. Hasyim As’ari untuk mendirikan wadah bagi Ulama Nusantara.
Baca Juga : Kisah Motivasi Laraku Bahagiaku
Mediator Berdirinya NU
Sejarah berdirinya NU tidak bisa dilepaskan dengan sosok KH. As’ad Syamsul Arifin. Pada masa itu Syaikhona Kholil Bangkalan mengutus KH. As’ad Syamsul Arifin untuk menemui KH. Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng. Pesan Syaikhona Kholil kepada KH. Hasyim Asy’ari berupa simbol sebuah tasbih dan penyampaian surat Thoha ayat 17-23 yang bercerita tentang mukjizat nabi musa dan tongkatnya.
Tak lama setelah pesan pertama di sampaikan, Syaikhona Kholil kembali mengutus KH. As’ad Syamsul Arifin untuk menyampaiakan pesan kepada KH. Hasyim Asy’ari berupa wiridan “ Ya Jabbar Ya Qohhar”. Pesan simbolik itu di tangkap oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai isyarah bahwa Syaikhona Kholil merestui pendirian Nahdlatul Oelama dan KH. Hasyim Asy’ari yang menjadi pemimpin spiritual Ulama Nusantara.
Perlawan terhadap Penjajah
KH. R. As’ad Syamsul Arifin bersama sepupunya KH. Abdus Shomad (pemimpin Sienin dan Keibodan) pada zaman jepang pernah mendapatkan kursus militer di Jember. Tehnik dasar militer inilah yang menjadi pondasi strategi KH. R. As’ad Syamsul Arifin bersama kyai-kyai lainnya dalam menyusun pergerakan perjuangan yang dipadukan dengan kekuatan rakyat dan para santri.
Sosok KH. R. As’ad Syamsul Arifin sangat disegani oleh ketiga laskar dikawasan tapal kuda (Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang, dan Pasuruan) yaitu anggota laskar Sabilillah, Hizbullah, dan Pelopor.
Berkat kharisma beliau, semua kiai yang ada dalam laskar Sabilillah menuruti semua arahan strategi beliau. Begitu juga para santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah, dan yang lebih dahsyat lagi para preman dan jawara pun bisa beliau taklukkan dengan mengumpulkan mereka semua dalam barisan laskar Pelopor. Semuanya setia pada segala intruksi yang diberikan KH. R. As’ad Syamsul Arifin.
Salah satu motivasi KH. R. As’ad Syamsul Arifin dalam perjuangan adalah bagaimana niat menjadi hal yang paling utama. “Perang harus diniati untuk menegakkan agama dan merebut Negara, jangan hanya niat untuk merebut Negara saja. Kalau hanya merebut Negara, hanya mengejar dunia, ahiratnya hilang. Niatlah menegakkan Agama dan membela Negara, sehingga kalau mati akan mati syahid dan masuk surga !”.
Baca Juga : 10 Filsafat Jawa yang Perlu Kamu Ketahui
Kembali ke Rahmatullah
Perjuangan panjang yang dijalani Kiai As’ad Syamsul Arifin mulai nyantri hingga menjadi seorang ulama yang menjadi tumpuan umat. Hampir semua waktu Kiai As’ad di curahkan untuk meladeni umat dan beribadah kepada Allah. Suhguh luar biasa.
Meskipun kondisinya yang sudah sepuh dan sakit-sakitan, Kiai As’ad Syamsul Arifin masih tetap memikirkan umatnya. Tepat seminggu sebelum kemangkatannya, Beliau menitipkan kepada Prof. Ali Yafie dan kawan-kawannya atas kelangsungan Ma’had aly yang sedang dirintisnya supaya dapat berlanjut dan berkembang hingga mencetak kader-kader militan. Yang berlasan al-Qur’an dan Hadist Nabi serta berdeologi Ahlussunah wal Jamaah.
Kiai As’ad Syamsul Arifin kembali ke Rahmatullah pada 13 Muharram 1411 H bertepatan pada 4 Agustus 1990. Beliau di makamkan di pemakaman keluarga yang ada di area pesantren yang berdampingan dengan ayahandanya, Kiai Syamsul Arifin.
Pesan Kiai As’ad
Meskipun Kiai As'ad telah meninggal, namun dawuh (nasihat) maupun perkataannya masih melekat dan diikuti oleh para santri dan pecintanya. Di antara wasiat (pesan) Kiai As'ad yang pernah ia sampaikan kepada para santrinya ialah:
1. Santri Sukorejo yang keluar dari NU (Nahdlatul Ulama), jangan berharap berkumpul dengan saya di akhirat.
2. Santri saya yang pendiriannya tidak dengan saya, saya tidak bertanggung jawab di hadirat Allah SWT (Subhanahu Wa Ta'ala).
3. Santri saya yang pulang atau berhenti harus ikut mengurusi dan memikirkan paling tidak salah satu dari tiga hal, yakni: Pendidikan Islam, dakwah melalui NU dan ekonomi masyarakat.
4. Istiqamah (terus menerus) membaca Ratibul Haddad.
5. Santri saya sebenarnya umum, anak siapa saja, dalam keadaan bagaimana saja, pasti selamat dan jaya asal jujur, giat dan ikhlas.
Baca Juga : Kisah Berdirinya Ponpes Fathul Huda
Referensi :
Amirul Ulum, Muassis Nahdlatul Ulama Manaqib 26 Tokoh Pendiri NU, 2015. Yogjakarta ; Aswaja Pressindo.
Syamsul A. Hasan, Kharisma Kiai As’ad di mata Umat, 2003. BP2M, PP "Salafiyah Syafi'iyah".
No comments:
Post a Comment